RSS
My Prinsiple: "You are What You Thing" "Dirimu adalah Apa Yang Kamu Pikirkan"

Selasa, 20 April 2010

Jangan Memilih Aku

Sabtu, 07 November 2009

Kenangan Terindah Untukmu




Assalamu'alaikum Wr.Wb

Dik, mohon maaf bila aku sok kenal kamu, mohon maaf jika aku terlalu menyayangimu dalam maya ini.

Rasanya, memang tidak masuk akal, namun kerapkali ketidakmasukakalan itulah yang justru logis.

Entah, apa yang engkau kesankan pada fenomenaku ini.

Dan, entah, apa yang membuatku begini.

Yang jelas, aku sayang kamu. Engkau adalah kiriman semesta untukku, sahabat terindahku.

Karya ini, entah kamu sebut apa, entah kau anggap apa, yang jelas ini adalah rasa hati, ya, rasa hati yang mungkin terlalu uniq atau aneh bagi dunia ini, dunia persahabatan. Ini hanya kupersembahkan padamu

Sunyi ini, rantau ini, adalah saksi

Kampus Damai, 07 November 2009 M

Merantau


“Saafir tajid iwadlon an man tufaariquhu, fanshob fa inna ladziiddzal aisyi fin nashobi”
“Merantaulah kamu, niscaya kamu akan menemukan ganti dari apa yang kamu tinggalkan, dan bersemangatlah (optimis) karena sesungguhnya nikmatnya hidup ada pada semangat itu."

Kalau boleh dibilang, orang-orang di negri kita ini, Indonesia, banyak yang merantau ke luar negri, sampai-sampai teman saya di kampus bilang bahwa negri kita ini tukang pengimpor buruh ke luar negri, TKI dan juga ada yang disebut TKW.

Saudara-sauadara saya di desa, seperti paman atau bibik dan tetangga-tenggga banyak yang ada di luar negri, bekerja di sana, katanya cari penghasilan.

Sangat kompleks sekali pemikiran tentang tenaga kerja ini, sering kita dengar dan pandang fenomena-fenomena tenaga kerja yang tidak mengasikkan, misalnya TKW di perkosa, disiksa, dibunuh, pulangnya tiba-tiba yang sampai hanya mayatnya, juga ada yang menghilang tanpa kabar, atau juga ada TKI yang selingkuh ga pulang-pulang, menjual diri, dan sebagainya. Meski demikian, tidak membuat mereka jera bekerja di luar negri.

Fenomena tersebut juga disaksikan oleh pemerintah, bahkan kerapkali terjadi pertengkaran antara pemerintahan kita dengan pemerintahan luar negri, gara-gara TKI kita yang disiksa.

Di sisi lain, mungkin banyak orang yang menganggap, mereka tidak berpikiran normal, karena masih tetap saja pergi ke luar negri untuk mencari perkerjaan.

Bagi saya, mereka normal-normal saja, bahkan sikap pilihan mereka itu menunjukkan kenormalan mereka, kedewasaan mereka, kesadaran mereka sebagai manusia yang bertanggung jawab dalam hidup ini.

Salah satu bukti kedewasaan dan rasionalisasi mereka, mereka mencari pekerjaan di negri orang adalah karena di negri mereka, mereka hidup kesulitan gara-gara tidak ada akses untuk berpenghasilan, mereka mengalami kesempitan di daerahnya sendiri.

Lalu, apa boleh buat, sedang anak-istri kelaparan, tidak ada yang mau dimakan tiap hari, kerja ini dan itu tidak berhasil, tengak-tenguk di sana sini tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Merantaulah akhirnya. Mereka pergi ke negri-negri yang memang diyakini secara rasio dan nurani mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Ini adalah kenyataan, mereka karena kesulitan di negri atau daerahnya sendiri, tidak ada jalan lagi kecuali merantau tersebut. Akhirnya, apakah kita masih ngotot menyalahkan mereka, atau menggilakan mereka?

Sekaliber ulama Imam Syafi’i pun, merasionalkan mereka, bahkan menyarankan mereka harus demikian, sebagaiamana yang tersurat pada syairnya di atas. Dengan demikian, sejatinya para, yang biasa kita sebut dengan, buruh itu adalah mulya di sisi Tuhan sekaligus manusia. Justru, merekalah yang memiliki kesadaran tinggi sebagai manusia yang memiliki rasa tanggung jawab di muka bumi ini.

Bahasa idealnya, mereka sadar bahwa mereka adalah kholifah di alam semesta ini. Selain itu, menunjukkan bahwa mereka betul-betul lebih rasional menghadapi hidup ini, mereka mengerti dan memahami nasib yang dijalani. Kita patut berbangga pada mereka sebagai pejuang-pejuang sejati kehidupan.

Hanya saja, ada persoalan lain, yang justru, membuat komnitas mereka tervonis buruk, yaitu mereka yang merantau keluar negri bukan karena motif perjuangan hidup, tapi hanya karena ingin, justru, lari dari tanggung jawab, pengecut, mereka yang inginnya main-main, hidup enak-enak, hedonis, bebas, mereka yang menjadi penjahat di negri orang, mereka yang tidak pulang-pulang, mereka yang jarang mengirimi uang, lupa keluarga, dan mereka yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan, menjual diri atau selingkuh. Merekalah Pencoreng wajah dan komunitasnya sendiri. Sehingga, mereka itulah yang pantas kita sesali, sekaligus mungkin, kita anggap gila.

Saya punya teman perempuan, cantiq dan dewasa. Konon, dia merantau keluar negri, gara-gara kedua orang tuanya broken home. tidak ada yang merawatnya sejak kecil. Orang tuanya tak hirau semua karena masalah hidupnya. Dia jatuh miskin. Dan, akhirnya ikut merantau salah satu sanak familinya ke negri tetangga, sampai sekarang ga’ pulang-pulang.

Dia menulis dalam onlinenya,”kak, saya bekerja di negri orang mulai kecil demi masa depanku dan demi kebahagiaan orang tuaku. Sekaligus, suamiku kelak, biar tidak sengsara beristri aku meski dia berasal dari miskin papa, agar tidak seperti aku sebelum ini, penuh sengsara. Aku juga ingin hidup bahagia ka…”, adunya.

Membacanya, aku menangis. Dia betul-betul pejuang sejati, yang gigih, yang sejatinya lebih futuristik, membangun masa depan dengan kekuatan pendirian dan penuh keyakinan. Sekolah ditinggalkan, hura-hura muda tak dihiraukan. Saya berpikir, padahal kalau kita lihat fenomena pemuda-pemudi sekarang, luar biasa anehnya, pergaulan bebas, selalu ingin enak-enak, hedonis.

Aku salut kepadanya, bagiku dia pahlawan sejati kehidupan, aku merasa kalah. Aku yakin, dia pasti bahagaia. Jangan pernah menyerah wahai saudariku, teruskan perjuanganmu sampai titik nadimu.Pada tubuhmu terpencar sinar yang begitu memukau dunia. Juga bagi para TKI, TKW lain yang senasib dengannya.

Terakhir kali, saudara-saudariku semua, kalian bukan orang miskin dan bukan orang hina, kalian adalah kaya raya, kaya raya, dan karya raya.

(tulisan ini kenangan dari: Hiburansunyi.blogspot.com, sebagai sahabat terindah)

Adikku Yang Musafir

(Sebuah bisikan sebagai hadiah kesejatian juangmu dan sebuah perkenalan)

Entah terlalu sederhana saya mencatat bisik ini
Kalau aku harus berterus terang
Ini hanya untukmu
Bukan karena aku cinta, bukan juga aku tergila
Ini hanya sebuah ungkapan bening
Untuk kamu pahlawan hati

Bagiku kamu pejuang hati
Pahlawan yang meminum keringatnya sendiri
Meski harus menanggung rasa basi

Dunia telah merampas senyum beliamu
Kamu tetap saja berdiri tegak
Dengan kaki lincahmu
Di atas bumi bergetar

Engkau masih saja menadah
Dengan tangan mungilmu
Kepada angkasa yang membentang di hatimu

Engkau masih saja memandang
Rembulan di malam hari
Di tengah kegelapan hatimu

Dan, engkau masih saja tersenyum
Menampakkan wajah polosmu
Yang memukau dunia

Dan, engkau masih saja melangkah jauh
tak hirau ranjau di kiri kananmu
Bermusafir ke kota-kota
Hanya demi senyuman yang masih tergadai
Masa depan
Engkau hampir menebus senyumanmu itu

Kau yang musafir
Menyusuri kota-kota
Rembulan, mentari, dan embun pagi hari
Menunggu kedatanganmu
Mereka jatuh rindu kepada senyum beliamu
Yang dulu pernah menjadi pelelap tidurmu

Dan, salam dari saya
Seorang yang tak pernah kau kenal
Dalam musafir hatimu

Kampus Hijau, 07 November 2009